LayarDigital.com, JAMBI – Selama lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, birokrasi telah berperan besar dalam perjalanan hidup. Khususnya, setelah reformasi politik di tanah air tahun 1998, upaya-upaya pembaharuan dalam manajemen pemerintahan terus dilakukan untuk meningkatkan kinerja birokrasi. Selama orde baru, birokrasi memiliki andil besar dalam proses pembangunan.
Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan publik, regulasi, proteksi, dan distribusi pada dasarnya di topang oleh demokrasi. Namun, peran birokrasi pada masa itu tidak menunjukkan potret yang baik. Persepsi masyarakat memperlihatkan bahwa citra dan kinerja birokrasi masih harus lebih ditingkatkan. Bahkan, masyarakat terkesan enggan untuk berurusan dengan birokrasi, karena berkonotasi dengan citra negatif seperti rendahnya kualitas pelayanan publik, berprilaku korup dan nepotisme, memiliki kecenderungan untuk memusatkan kewenangan, masih rendahnya profesionalisme, dan tidak terdapatnya budaya dan etika yang baik.
Birokrasi di Indonesia, persepsi yang muncul adalah suatu sistem pelayanan dan administrasi pemerintahan yang terkesan aneh, berbelit-belit dan lamban. Birokrasi merupakan penyakit menahun di tanah air yang sulit di ubah. Namun setelah reformasi politik sekitar tahun 1998 terjadi, banyak upaya dan program-program pembangunan dan pengembangan kelembagaan yang juga direformasi menuju sistem yang lebih demokratis. Birokrasi, dunia usaha dan masyarakat adalah tiga pilar utama dalam upaya mewujudkan pelaksanaan pemerintah yang baik dikenal dengan konsep “good governance”. Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan atau wewenang, semangat pelayanan publik, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Jika kondisi ini bisa terpenuhi maka harapan mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara yang demokratis akan membawa kebaikan bagi Negara dan bangsa ini.
Karena itu birokrasi harus bisa dipahami, melalui peran dan kemampuannya, menunjang pelaksanaan sistem pemerintahan, baik dalam merespon berbagai permasalahan maupun dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Inti salah satu kondisi birokrasi yang professional adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat, sehingga cita-cita, inisiatif dan upaya-upaya birokrasi perlu diarahkan guna memiliki wawasan pelayanan publik.
Birokrasi hadir sebagai kreasi dari penguasa untuk memberikan pelayanan kepada penguasa, dengan tujuan untuk memperluas dan memperbesar serta mempertahankan kekuasaan. Dengan reformasi birokrasi yang dilakukan, konsep pelayanan pun dilakukan perubahan, dari orientasi pelayanan penguasa sampai saatnya menuju orientasi pelayanan publik.
Tanggapan negatif masih tertanam bahkan setelah lebih dari 16 tahun reformasi 1998 bergulir perbaikan birokrasi yang dicanangkan pemerintah selama ini belum berjalan secara optimal. Berbagai upaya perbaikan telah diupayakan, namun belum dapat menciptakan sistem birokrasi yang mantap dan membawa konsekuensi terlaksananya agenda reformasi secara cepat dan tepat. Perbaikan birokrasi belum juga menunjukkan gejala perbaikan yang positif. Bahkan sebaliknya kelembagaan birokrasi semakin transparan dalam melakukan korupsi dan akuntabilitas publik menjadi pertanyaan besar. Banyak faktor yang signifikan menjelaskan kondisi keterpurukan birokrasi di tanah air, dan beberapa dijelaskan dalam uraian sebagai berikut.
Masih lemahnya kesadaran dan kemampuan untuk melakukan prinsip-prinsip good governance dengan baik. Jika hal ini dilakukan secara baik, maka masyarakat akan dapat memahami dan merasakan peran dan fungsi birokrasi yang sesungguhnya pada saat mendapatkan pelayanan. Di samping itu, masyarakat yang memahami dengan baik akan peran fungsi birokrasi akan menjadi kekuatan yang baik dalam melakukan perubahan secara efisien, namun juga bisa terjadi sebaliknya menjadi kelemahan dan bahkan penghambat dalam melakukan perubahan.
Sistem pemerintahan desentralisasi yang digulirkan sejak era reformasi merupakan angin segar dalam pelaksanaan birokrasi, terutama di daerah. Daerah dengan kewenangan dan tanggung jawab yang diemban nya dapat merancang dan melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan kondisi geografis dan demografis nya. Hal ini juga mendorong bangkitnya prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat dan swasta untuk menciptakan kerjasama yang harmonis dalam rangka membangun pelayanan yang baik. Namun, dalam pelaksanaan desentralisasi di era otonomi daerah ini muncul penafsiran yang beragam dan bahkan cenderung kebablasan sehingga terkesan menciptakan penguasa-penguasa dan raja-raja kecil di daerah. Artinya, dalam pelaksanaanya ada kecenderungan sebagian pemerintah daerah menafsirkan bahwa mereka memiliki kekuasaan yang sangat tinggi dalam mengurus rumah tangganya tanpa memperhatikan hubungan koordinasi dengan pemerintah pusat.
Konsekuensi dari otonomi daerah yang kebablasan inilah, saat ini banyak posisi atau jabatan di birokrasi di isi oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan keterampilan yang sesuai dengan pekerjaannya. Hal tersebut terjadi karena lebih mengutamakan pada pengangkatan posisi di dalam jabatan struktural, yang lebih diutamakan karena ruang, pangkat, golongan atau karena senioritas, bukan karena kompetensinya. Kondisi inilah yang terkadang sering menimbulkan penyimpangan wewenang dan penyalahgunaan kekuasaan.
Belum jelasnya standar kinerja yang dapat diukur untuk menentukan mutu output yang dihasilkan aparatur. Hal tersebut terkait dengan asumsi bahwa seberapapun kualitas dari output kegiatan yang dilaksanakan tidak akan memberikan perubahan terhadap penghargaan kepada aparatur yang bersangkutan. Kondisi ini terkait dengan motivasi, yang akan berpengaruh terhadap sanksi baik reward maupun punishment. Pengawasan sebagai bagian dari proses interaksi pembelajaran sekaligus memberikan wahana dijalankannya sistem sanksi, penghargaan tidak atau belum berjalan sebagaimana diharapkan. Konsep pengawasan yang dijalankan saat ini masih merupakan ritual administratif yang tidak memiliki banyak manfaat dalam pengembangan SDM aparatur.
Rendahnya kualitas SDM aparatur, yang tercermin dari kondisi kesejahteraan pegawai, rekruitmen dan pembinaan karir, budaya kerja dan profesionalisme sumber daya aparatur yang belum sepenuhnya mampu memberikan pengaruh positif dalam proses perkembangan aparatur. Karena persoalan kesejahteraan inilah, seringkali tindakan-tindakan yang tidak jujur atau tidak mengandalkan moralitas menjadi mengedepankan. Pungutan liar, tindak penyuapan dan semacamnya menjadi bagian yang membuat birokrasi semakin kompleks.Hasil penelitian lembaga Political and Economic Risk Consultansy (PERC) yang dilakukan pada tahun 2002, Indonesia masuk Negara yang terpuruk birokrasinya, sampai saat ini belum mengalami perubahan yang cukup signifikan. Laporan terakhir World Economic Forum (WEF) tahun 2004 tentang Global Competitiveness Ranking (GCR) bahkan menempatkan Indonesia berada di urutan ke-69 dari 104 negara yang diamati. Salah satu aspek penilaian adalah birokrasi pemerintah (kelembagaan pemerintah) yang mengindikasikan sejauh mana lembaga pemerintah memberikan kemampuan pelayanan yang baik berorientasi pada pelanggan atau publik, minimnya korupsi, atau berorientasi pada kerangka hukum yang jelas.
Penulis : Ica Aprilia